RSS

Naik Dokar

Lebaran tahun 2008 merupakan hari istimewa buat saya istri dan anak. Selain bisa berkumpul bersama kakek, nenek, om, tante dan saudara, kami juga bisa rekreasi meskipun hanya sekadar jalan-jalan dan makan di warung lesehan.

Jumat (3/10) sekira pukul 10.00 WIB, saya bersama istri dan anak jalan-jalan menggunakan dokar, yaitu sebuah sarana transportasi menggunakan kuda yang kini mulai sulit ditemukan di daerah kelahiran saya di Brebes, Jawa Tengah. “Mi, jalan-jalan yo pakai dokar,” ajak saya kepada istri yang terlihat sudah mulai jenuh tinggal di dalam rumah beberapa bulan.

Tanpa pikir panjang lagi, istri saya pun langsung menyetujui ajakan saya itu. Setelah beres-beres peralatan di dede kecil yang sudah mulai tambah lucu, kami bertiga berangkat menuju lokasi dimana para sopir dokar biasa mangkal. Suasana di area mangkal para dokar ini terlihat berbeda dengan hari-hari sebelum lebaran.

Jika sebelumnya kegaduhan, kebisingan dan kemacetan menjadi pemandangan menjenuhkan dan menjengkelkan. Kini, dua hari pasca lebaran pemandangan menjadi normal kembali. Hanya ada beberap toko kelontongan dan toko kelontongan yang masih buka.

Di pinggir jalan persimpangan pasar Desa Ketanggungan tampak seorang pria yang mulai keriput akibat usianya yang telah tua. Kakek ini terlihat asyik mengelus-ngelus seekor kuda putih yang belakangan bernama si Manis. “Biar saya saja Bi yang menawar harganya. Khawatir kalau Abi yang nawar tidak bisa,” kata istri sambil menggendong Fadia yang matanya terlihat bening.

Memang sejak saya merantau di Serang, Provinsi Banten tahun 1999 lalu komunikasi saya dengan bahasa Brebes menjadi agak sulit sehingga sering mengkhawatirkan istri ketika membeli barang. Dari jarak dekat saya mengamati diplomasi istri dengan pemilik dokar.

Setelah melakukan proses negoisasi akhirnya disepakat harga sewa dokar Rp 60.000. Awalnya, pemilik dokar menawarkan harga cukup tinggi yaitu Rp 80.000. Usai persetujuan kami langsung naik dan bergerak menuju salahsatu rumah makan lesehan di Kampung Alang-alang, Desa Kersana. Jika dihitung jarak perjalanan dari lokasi mangkal dokar sekira 7 kilometer.

Bunyi alas kaki kuda terdengar seperti nada sebuah lagu, rapi dan teratur. Sesekali kuda putih yang usianya 15 tahun itu menengokan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Fadia kecil yang saya pangku persis di belakang kuda seperti menikmati perjalanan pagi itu.

Genderang knalpot dan hembusan angin menjadi irama kuda terasa enak di dengar. Mata Fadia pun tertuju kepada kuda yang ada di depannya. Bahkan, sesekali anak pertama saya ini jingkrak-jingkrak sambil berteriak seperti ingin menaiki kuda tanpa harus di dokar.

Kami bertiga merasa bahagia karena bisa menikmati perjalanan meskipun sederhana. Ternyata, keadaan yang apa adanya tidak membuat kami bertiga mengeluh tapi justru semangat untuk menjalani masa-masa liburan bersama anak. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: