RSS

Hah…Fadia Mau ke Bulan?


Ha, Fadia mau ke bulan?, pakai apa?”. Itulah ekspresi kami yang kaget saat Fadia, anak pertama kami yang berumur dua tahun dua bulan mengungkapkan keinginannya pergi ke bulan.

OLEH UMMI & ABI FADIA

Dede Dia mau ke bulan pakai baju astronot, terus pakai pesawat ulang-alik,” kata Fadia menjawab pertanyaan kami berdua. Jujur, kami merasa kaget dan bangga karena di usianya yang baru dua tahun dua bulan, Fadui sudah mengenal bulan, astronot dan pesawat ulang-alik. Meski sederhana tapi bagi kami ini adalah prestasi yang luar biasa karena sudah memiliki perbendaharaan kata-kata sains. Mengetahui kesempatan emas ini kami berdua pun terus memancing imajinasinya, kami terus memberkan stimulus dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Fadia.

Kalau ke bulan, Abi dan Ummi diajak ga?” tanya suami kepada Fadia. Mendapat pertanyaan ini, Fadia bukan hanya menjawab Abi dan Ummi yang akan diajak tapi juga anggota keluarga lain seperti bule, om, mba.

Abi diajak, Ummi diajak, Bule diajak, Om Ari diajak, Mba juga diajak. Dede Dia duduk sama Ummi dan Abi,” kata Fadia sambil menggerakan kedua tangganya seperti seorang guru yang sedang menjelaskan kepada anak didiknya.

Kegiatan membaca adalah kegiatan yang paling dominan yang aku lakukan dengan Fadia. Sebagai ibu yang memiliki latar belakang sains dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, saya seringkali mendekatkan Fadia dengan wawasan sains baik melalui buku ataupun peristiwa alam yang ada di sekitar rumah.

Salah satu buku sains yang kali pertama mengenalkan Fadia dengan bulan adalah Word Book Picture. Didalam buku ini, diceritakan tentang kegiatan kakak beradik yang sedang mengamati fenomena bulan. Selain itu, di buku ini diterangkan juga tentang beberapa bentuk bulan yaitu, purnama, bulan separuh dan bulan sabit. Bulan sepertinya menjadi favorit Fadia. Bulan purnama misalnya, dia selalu minta menggoreng telor sendiri karena bentuknya bulat mirip bulan purnama. “Tuh Bi, kaya bulan purnama,” teriak Fadia saat melihat bentuk telor yang digoreng bulat.

Selain bulan purnama, Fadia juga menyukai bulan sabit. “Tuh Bi, bulan sabut di atas,” teriak Fadia ketika melihat bulan sabit di atas langit. Selain sudah bisa memiliki keinginan pergi ke bulan, astronot dan pesawat ulang-alik, Fadia juga sudah bisa menyampaikan cita-citanya.

Kalau ditanya apa cita-cita Fadia maka dia akan menjawab ingin menjadi dokter anak. “Fadia ingin jadi dokter anak,” katanya dengan gayanya yang lucua. Semua itu anugerah dari sangka pencipta, tugas kita sebagai orangtua adalah memberikan stimulus agar otak dan pemikirannya terpancing. Sebagaimana diungkapkan para ahli bahwa usia dua anak adalah usia keemasan yang akan menentukan kecerdasan anak di masa mendatang.****


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gelap, Minyak Jelantah Pun Nyala


"Waduh, mati listrik lagi. Bagaimana sih PLN ini, giliran bayar tidak boleh terlambat tapi pelayanan byar pet, byar pet. Mana hari sudah malam, hujan lagi,” gerutu suami saya ketika listrik mendadak mati sekira pukul 18.30 WIB.

OLEH UMMI FADIA,S.Si

Usai shalat maghrib berjamaah di rumah, seperti biasa kami bercengkrama di ruang tamu. Fadia yang memasuki usia dua tahun bertingkah lucu, suka nyanyi sendiri dan selau melompat-lompat di atas kasus. “Ini anak tipenya kinestetik dan language, nanti sekolahnya di Peradaban saja yah,” kata suami kepada saya sambil melihat Fadia yang cengar-cengir.

Sekolah Peradaban adalah sekolah alam di Kota Serang, Provinsi Banten, yang dikelola teman-teman suami. “Umi, Umi,” teriak Fadia saat tiba-tiba listrik mati. Suasana mendadak ramai, saya mencari lilin sedangkan suami mengamankan Fadia.

Lilin kemana yah, waduh ternyata habis juga, tapi tidak perlu beli Bi, nanti Ummi carikan solusi sepertinya pakai minyak jelantah bisa nyala,” kata saya kepada suami. Setelah mondar-mandir mencari gelas hias yang biasanya digunakan untuk penerangan kolam mungil di taman rumah akhirnya suasana mulai tenang.

Empat gelas ukuran mini telah dikumpulkan ke dalam satu tempat. “Beli lilin saja sih Mi,” kata suami yang ingin praktis dan tidak perlu repot-repot. Selang beberapa menit kemudian, kedipan lampu dari minyak jelantah yang ditaruh di gelas mungil tampak. “Tuh kan nyala, Ummi gito loh. Akhwat jenius,” kata saya kepada suami sambil membanggakan diri.

Bulan Februari 2010 sering terjadi pemadaman bergilir di beberapa wilayah Kota Serang, Provinsi Banten, dimana saya berlabuh. Konon, ini akibat PLN kekurangan pasokan listrik yang sebetulnya alasan ini membuat saya bingung. “Laut kita luas, angin juga cukup, banyak energi alam yang bisa dimanfaatkan menjadi sumber tenaga listrik. Kenapa kok masih kekurangan pasokan tenaga listrik, aneh,” gumam saya kepada suami.

Namun saya harus sadar, menggerutu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Toh, mulai dari Direksi PLN sampai Presiden SBY tidak tahu kesulitan keluarga kami ketika mati lampu. “Sebagai rakyat biasa, saya harus tetap semangat untuk ikut serta dalam program penghematan energi,” gumam saya untuk menghibur diri.

memanfaatkan minyak goreng bekas atau sering disebut jelantah. Yah, ini ide yang muncul tiba-tiba ketika mati listrik malam hari. Yah, paling tidak saya tidak perlu membeli lilin setiap mati listrik. Selain itu, penggunaan minyak jelantah untuk penerangan juga untuk menghemat tenaga listrik dan ramah lingkungan.

Sebab, dengan lampu saving energy, sama halnya penambahan pemakaian listrik pada saat pengisian. Menggunakan lampu minyak tanah pun sudah langka dan cukup berbahaya. Menggunakan lilin, selain merupakan salah satu hasil tambang kalau matinya tiap hari bisa habis berdus-dus akibatnya arti penghematan itupun akan hambar.

Pakai genser?. Wauh, rumah tangga pakai barang ini mewah banget tuh. “Kalau penerangan pakai genset beberapa saat nyala langsung diprotes tetangga, lah iya brisiknya minta ampun kok. Selain itu, kalau pakai genset sama halnya mengganti listrik dengan bensin, dimana lagi arti penghematan sumber daya alam,” kata saya diskusi dengan suami.

Lalu apa yang kita lakukan agar hemat sumber daya alam tapi rumah tetap terang. Awalnya saya tidak terpikirkan menggunakan minyak jelantah tapi setelah melakukan pemikiran, saya mencoba memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan bakar lampu. Loh kok minyak jelantah bisa nyala?.

Ingat dengan mainan perahu yang digemari anak-anak. Coba, ingat-ingat bahan bakar apa yang digunakan perahu itu sehingga bisa menjadi energi untuk menggerakan perahu tersebut. Minyak jelantah bukan?. Ingin tahu cara membuatnya agar rumah kita tetap terang meski mati lampu tanpa harus membeli lilin. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan.

Siapkan satu lilitan kapas dengan panjang kurang lebih 3 cm. Lalu?, sebentar dulu sabar yah. Setelah itu siapkan satu yang kira-kira cukup bisa digunakan untuk membuat lubang pada satu buah tutup botol sirup atau minuman lainnya (yang pasti jangan tutup botol Aqua, pasti meleleh). Buat lubang di tutup botol tersebut melebar agar aliran panas tidak terperangkap.

Tumpahkan minyak jelantah ke dalam botol lalu masukan kapas yang sudah dililit ke lubang botol agar menjadi sumbu api. Terakhi, apungkan tutup botol yang sudah bersumbu di atas minyak yang telah di taruh di gelas. Nyalakan sumbunya dengan korek, nyala deh!. Sederhana bukan?. Sok coba praktekan biar bisa ngirit belanja rumah tangga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Si Kecil Membuat Analisa


Membaca bukan saja menambah wawasan si kecil tapi ternyata bisa mengendalikan tantrum anak. Demikian diungkapkan seorang penulis buku Ann E Laforge.

OLEH UMMI FADIA

Awalnya saya bingung ketika melihat Fadia (2), anak pertama kami yag tiba-tiba ngambek tanpa sebab. Ternyata itulah yang disebut tantrum. Cara yang efektif untuk meredakan badai rewel balita atau tantrum adalah membaca, terutama bacaan yang menceritakan karakter rasa seperti sedih, senang, terkejut, termasuk ekspresi frustasi sekalipun.

Untuk urusan membaca bagi saya tidak menjadi masalah karena sejak usia delapan bulan, Fadia sudah saya kenalkan dengan kegiatan membaca. Alhamdulilah buku tidak hanya mengembangkan kemampuan berpikirnya tapi juga kemampuan motoriknya seperti membuka lembaran buku yang tipis.

Seiring dengan bertambahnya usia Fadia, sifat “Keakuan” Fadia makin besar yang harus disikapi dengan benar dan tepat sehingga si kecil tidak mengalami kebingungan untuk memaknai sebuah kebenaran.

Salah satu contoh, sebagai keluarga muslim saya membiasakan menutup aurat karena ini adalah salah satu karakter dan kewajiban umat muslim yang bisa membedakan dengan umat lain.

Fadia terbiasa pakai jilbab sejak usia 3 bulan, tapi sejak masa negatifistiknya tumbuh, dia sering menolak memakai jilbab. Di sinilah orangtua “dipaksa” konsisten untuk menerapkan aturan tidak tertulisnya. Apabila kita kalah dengan berontaknya anak maka membingungkan anak itu sendiri.

Salah satu cara yang saya lakukan adalah mengajak membaca buku yang ada kaitannya dengan jilbab. Sampailah saya menemukan buku berjudul “ Aku Cantik Pakai Jilbab”. Dalam buku tersebut hampir disemua halaman menampilkan dialog sang tokoh yang bernama Saliha dan ibunya.

Namun, di beberapa halaman dari buku tersebut gambar ibu yang sedang berdialog dengan Saliha tidak dimunculkan oleh penulis. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan Fadia. Tak lama setelah melihat halaman itu munculah pertanyaan dari si kecil. “ Ummi, ibunya mana?” tanya Fadia.

Sampai sekarang saya sendiri tidak mengetahui apa alasan sang penulis tidak menampilkan gambar sang ibu. Tapi analisis si kecil yang ditunjukan dengan melontarkan pertanyaan itu cukup membuat kagum karena stimulus analisisnya sudah mula bergerak .

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS