RSS

Si Kecil Kemah di Rumah Sakit

Bintang yang semula menyemburkan cahaya dengan indah, mendadak malu dan bersembunyi di balik gumpalan awan yang juga terasa menghitam. Riang dan tawa seketika berubah menjadi tangisan yang meronta dan nelangsa karena tak tahan merasa sakit. Itulah suasana saat kami mendengar kepastian hasil tes darah bahwa si kecil terkena positif DBD.

Di akhir pekan pada Minggu terakhir di akhir tahun, tepatnya Sabtu, 25 Desember 2010 sekira pukul 18.30 WIB atau 30 menit setelah adzan magrhib. Saya dan istri setengah kaget dan setengah siap menerima anjuran yang bersifat desakan agar Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami di opname. “Trombositnya cuma 120 bu, jadi saran saya dirawat inap. Ini sudah positif DBD, tapi itu sih terserah ibu dan bapak sebagai orangtua,” kata dokter setelah menerima hasil laboratorium tes darah Fadia dengan mimik serius.

Kedipan bintang di langit menjadi redup, bulan pun enggan tersenyum seolah turut merasakan suasana batin kami. “Ooh, positif yang dok?. tanyaku untuk memastikan barangkali dokter salah baca atau ngantuk karena jaga di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Asih, Kota Serang, Provinsi Banten. Namany dokter kan bisa jadi salah baca, kan dokter juga manusia.Tak pusat dengan pertanyaan saya, istri saya kembali menanyakan alasan kenapa harus dirawat inap dan kenapa positif DBD. “Trombositnya berapa dok?” tanya istri kepada sang dokter.

Pertanyaan istri sebetulnya bukan meragukan kemampuan diagnose sang dokter terhadap hasil tes, tapi hanya untuk memastikan apakah betul kena DBD. “Iya Bu, ini trombositnya rendah cuma 120 padahal normalnya minimal 150,” jawab sang dokter sambil melempar senyum. Jawaban kali kedua dokter inilah yang meyakinkan kami berdua sehingga memutuskan untuk merawat Fadia.

Sekira pukul 20.00 WIB, tangan Fadia mulai dilengkapi dengan tusukan jarum suntik, selang dan botol yang berisi cairan. Tangisan dengan diiringi gerakan fisik memberontak untuk diopname, si kecil di bawa ke salah satu ruang perawatan. Inilah waktu kali pertama saya, istri dan si kecil kemah di rumah sakit. Tak tega melihat tangan si kecil ditusuk jarum dan mengeluarkan darah segar.

Rintihan dan tangisan histeris pun mulai terdengar. Bahka, saya terpaksa harus memegang kuat-kuat tangan si kecil ketika hendak diambil darahnya untuk kali keduanya. “Maaf ya nak, ini supaya Fadia cepat sembuh dan bisa sekolah jauh,” bujuk saya kepada si kecil dengan penuh iba.

Setelah semua peralatan infus terpasang, si kecil pun dibawa ke salah satu ruang yang telah kami pilih. Si kecil menempati ruang VIP dengan nama ruangannya Merak 6, yang berada di ujung gang lantai 2 rumah sakit ini. Mulailah malam yang bertepatan dengan Hari Natal 2010 itu kami bertiga kemping di rumah sakit. Oh, maaf sebetulnya sih berempat karena istri sedang mengandung lima bulan anak kedua kami.

Sambil kemping saya aktif menuliskan status di facebook minta doa kawan-kawan di facebook karena kekuatan doan begitu luar biasa. Penulisan facebook ini saya lakukan setelah meminta izin tidak masuk kerja via pesan singkat ke rekan kerja. Si kecil terkulai dengan infuse, mohon doa untuk kesembuhannya, itulah salah satu isi status saya ketika kemping di rumah sakit. Tanggapan dari kawan pun mulai bermunculan hingga mencapai 10 tanggapan, mayoritas berisi doa dan menanyakan sakit anak saya.

Terima kasih doanya. Positif kena DBD, jawab saya dalam status facebook. Oh ya ada juga yang menganjurkan untuk minum jus jambu merah. Apapun isi status ini saya berterimakasih karena dengan dibantu doa para jamaah facebook, si kecil berangsur-angsur mulai membaik. Namanya kemping, yah bawaanya air panas, selimut, jaket dan makanan ringat serta minuman.

Di dalam ruangan kemping hanya ada satu tempat tidur yang pastinya untuk si kecil sama umminya. Di samping tempat tidur terdapat lemari es satu pintu merk Sanyo, televisi 14 inch merk Samsung dan sofa hijau muda yang saya tidak tahu merk apa.

Kami berdua bersyukur karena ndilalah istri diberi petunjuk oleh Allah SWT untuk melihat artikel tentang DBD, yang lama tidak dibaca dan tersimpand I meja rias. Jika tidak ada petunjuk Allah SWT maka saya tidak tahu nasib Fadia menghadapi penyakit unik itu. “Terima kasih ya Allah atas kasih sayangMu,” gumam saya dalam batin. Dalam artikel itu dikatakan bahwa gejala DBD seperti pelana kuda, pada tiga hari pertama panas badan cukup luar biasa. Nah, pada hari ke empat panas menurun dan anak bisa becanda, makan dan beraktivitas seperti sudah sehat makanya banyak orangtua santai padahal kesembuhannya hanya kamuflase.

Kondisi seperti sudah sehat itulah sebetulnya masa kritis karena virus mulai menggeroti salah satu bagian dalam tubuh kita melalui darah. Salah satu caranya untuk memastikan apakah itu sembuh betulan atau bohongan maka di tes darah di rumah sakit, sehingga bisa diketahui apakah murni sembuh atau ada penyakitnya. Jadi saran saya bagi Anda yang memiliki anak dan mengaalami panas, mesti waspada pada hari ke-4 dan jangan sampai terlambat untuk melakukan tes darah. |Abi Ayu Fadia|

26 Desember 2010, RSIA Budi Asih, Kota Serang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tjoet Njak Dien, RA Kartini dan Ayu Fadia [1]

“Aku mau sekolah yang jauh. Di sana pakai mobil. Aku kan mau jadi dokter.”

[Ayu Fadia, saat usianya 2 tahun 8 bulan].

Oleh Abi Ayu Fadia

Tepat peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2010 yang jatuh pada hari Rabu sekira pukul 20.00 WIB. Rumah mungil kami yang biasanya ramai oleh celotehan Fadia mendadak hening. Boneka si Lebah pun terkulai di keranjang karena sang pemilik sedang layu. Wajahnya pucat dan selalu terbangun dari tidurnya diringi tangisan menahan sesuatu yang tidak mengenakan.

Istri yang sedang hamil lima bulan langsung merangkul tubuh mungil Fadia untuk kemudian dipeluk. Saya sendiri sibuk mengatur suhu AC di kamar dan mengurus air hangat kuku dan selembar handuk kecil. Sementara, keponakan yang saat itu sedang menunggu warung saya perintahkan membeli thermometer digital di apotek. Sebetulnya, alat ini sudah tersedia tapi rusak setelah diremas-remas tangan kreatif Fadia ketika sehat.

Itulah kesibukan seisi rumah ketika Ayu Fadia terkena panas hingga nyaris mencapai 40 derajat celcius tepatnya 39,4 derajat celcius. Suhu badan Fadia kami pantau setiap satu jam lalu kami catat sebagai medical record sebagaimana yang dianjurkan oleh para tenaga kesehatan. Catatan ini penting untuk mengetahui sejauhmana perkembangan suhu badan sehingga bisa cepat diambil tindakan apabila kondisi mengharuskan di bawa ke dokter.

Kata orang kedokteran panas itu bukan penyakit tapi bentuk perlawanan tubuh terhadap benda asing yang masuk, seperti virus atau bakteri. Nah, karena bukan penyakait jadi tidak perlu panic ketika mendapatkan anak kita panas. Yang terpenting panasnya dikontrol supaya bisa diambil tindakan. Apabila panasnya diikuti kejang-kejang,muntah maka secepatnya dibawa ke rumah sakit.

Hal lain yang perlu segera dibawa ke rumah sakit adalah saat suhu badansi kecil naik turunya radikal. Misal dari 39 derajat celcius langsung turun 35 derajat, nah itu perlu diwaspadai dan lebih baik segera larikan ke rumah sakit. Sebetulnya ada hal lain yang membicarkan tentang panas si kecil salah satunya adalah memindahkan tempat tidur si kecil ke tempat yang lebih luas dan sirkulasi udaranya bagus.

Alhamdulillah, sekira pukul 23.00 WIB panas Fadia mulai turun hingga pukul 24.00 WIB panasnya turun menjadi 38,5 derajat celcius yang semula 39,5 derajat celius. Lah, ini judul ama isi kok ga nyambung. He..he.. tenang aja, baca saja sampai tuntas nanti juga nyambung kok. Kenapa saya sandingkan Ayu Fadia dengan nama dua tokoh wanita terkenal tentu ada udang di balik mirong, eh di balik batu maksudnya.

Soo pasti ada dong. Masa menyandingkan nama anak dengan seorang tokoh tidak ada maksud?, wong kita memberikan nama untuk anak-anak kita juga ada filosofinya iya kan?. Jadi begini, mumpung Hari Ibu saya menulis sosok wanita yang menjadi pahlawan sang pencerah di kalangan kaum wanita. Apalagi Fadia lahir sehari sebelum peringatan Hari Kartini yaitu 20 April 2008.

Lalu hubungannya apa dengan RA Kartini dan Tjoet Nya Dien. Memang secara garis keturunan darah tidak ada ketemu karena Kartini keturunan bangsawanan Jawa, Tjoet Nya dien keturunan Sultan di Aceh. Sedangkan Ayu Fadia adalah keturunan seorang wartawan yang menikahi sarjana Fisika UNS Solo, Jawa Tengah.

Tapi bukan urusan darah yang ingin saya petik pelajaran dari dua wanita tersebut, tapi nilai-nilai pencerahan yang telah mereka lakukan sehingga menggelorakan semangat kaun wanita. Mereka berdua bisa menjadi inspirasi sebagaimana kebebasan wanita Belanda untuk mengekspresikan bakatnya telah menginspirasi Kartini, sehingga tersadarkan bahwa peran wanita bukan hanya di dapur, sumur dan kasur.

Karena terinspirasi inilah Kartini berani menulis surat pada Mr.J.H Abendanon, salah satu temannya di Belanda. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri kincir angina tersebut. Sayang Kartini tidak sempat memanfaatkan beasiswa tersebut karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat.

Wah makin seru saja nih ceritanya. Sok pasti kan sudah saya jelaskan pada pertengahan tulisan ini bahwa nanti pasti ada kaitannya antara judul dengan isinya. Supaya lebih seriu kita rehat dulu sambil menyeruput teh poci khas Gardoe Welitan (GW). Tunggu tulisan selanjutnya pada bagian kedua masih di web yang sama yaitu www.familycare20.blogspot.com. Selamat Membaca!

Kota Serang, 22 Desember 2010

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mogok Sekolah, Rajin Shalat

“Kenapa Fadia ga berangkat sekolah lagi?” tanya saya kepada Fadia di pagi hari. “Bosan,” jawabnya dengan tegas tanpa ragu. Fadia adalah anak pertama kami yang ketika tulisan ini dibuat berumur 2,6 tahun..

Waow, anak usia 2,6 tahun sudah bisa dan berani menyatakan sikapnya sendiri tanpa ragu. “Loh kok bosan, katanya mau jadi dokter kandungan?” tanyaku dengan mengingatkan memori Fadia tentang cita-citanya ingin menjadi dokter kandungan yang pernah dia sampaikan saat baru berumur 1,5 tahun. “Ga mau,” katanya dengan nada tinggi seolah ingin menegaskan kepada saya bahwa ia tidak mau diganggu gugat soal urusan sekolahnya.

Maaf, bukan bermaksud ngalem anak sendiri, Fadia memang memiliki keunikan tersendiri. Dia sudah bisa mulai berjalan sejak usia satu tahun, bicaranya tidak cedal termasuk ketika mengungkapkan kata yang terdapat huruf “R”. Fadia juga kritis dan suka ngeles ketika menemukan sesuatu yang salah, seperti ketika ada salah satu anggota keluarga kami membuang sampah sembarangan, menempatkan handuk yang tidak rapi, nonton televisi dengan jarak terlalu dekat.

Fisiknya juga tergolong kuat karena sudah kami buktikan. Pertama, saat perjalanan dengan menggunakan sepeda motor ke Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Perjalanan dari Kota Serang ke Labuan dimana kami singgah kurang lebih dua jam. Terakhir, Fadia kami ajak ke Kota Tangerang dengan menggunakan motor dan dia menikmati betul selama perjalanan. Selama di perjalanan Fadia selalu bernyanyi dan memberitahu kami saat menemukan objek yang selama ini ia kenal, seperti sungai, genangan air ataupun kendaraan besar.

“Kalau mau ke rumah nenek tuh lewat situ Bi,” katanya saat melintasi jembatan yang di bawahnya terdapat jalan tol. Memang, saat kami mudik ke rumah nenek Fadia di Brebes,Jawa Tengah, pasti melewati tol Serang.

Kembali ke cerita Fadia yang bosan dengan sekolah. Saya dan istri langsung menangkap kenapa Fadia bosan sekolah. Analisis kami, pertama adalah Fadia ingin mencari suasana baru seiring dengan usianya yang bertambah. Kedua, perkiraan kami metode pengajaran guru yang mungkin dianggap membosankan Fadia.

Meski bosan masuk sekolah tapi Fadia tidak bosan dengan aktivitas membaca. Fadia masih suka membawa buku cerita apakah itu tentang lebah, pesawat astronot, ka’bah termasuk menulis dan bernyanyi huruf. Teori-teoir yang kami pelajari tentang pendidikan anak dua hal di atas aganya mendekati kebenaran.

Beberapa hari terakhir ini, kami dibuat sumringah pula karena selain masih suka membaca, menulis dan bernyanyi. Fadia menjadi rajin shalat, tak jarang Fadia yang mengajak kami shalat berjamaan di rumah. “Ayo Bi Shalat,” ajak Fadia saat saya baru pulang kerja. Sebetulnya, kegiatan shalat sudah dilakukan Fadia saat usianya dua tahun tapi tidak seatraktif sekarang (2,6 tahun).

Jika dulu Fadia hanya berdiri tapi sekarang Fadia minta wudlu dan mengikuti gerakan shalat lengkap mulai takbiratul ikhram hingga salam. Usai salam, Fadia langsung melempar senyum dan mencium tangan saya dan istri sambil menyodorkan pipinya untuk dicium. Jujur ingin saya katakana melalui tulisan ini. Perkembangan Fadia yang begitu atraktif dan berkarakter tidak lepas dari peranan istri.

Sejak di kandungan Fadia selalu diajak bicara, saat kali pertama lahir yaitu Ahad, 20 April 2008 pukul 03.00 WIB, Fadia langsung diberi colostrum, yaitu cairan yang keluar pertama kali dari puting berwarna kekuning-kuningan. Colostrum menurut ahli kesehatan anak adalah cairan yang memiliki manfaat besar bagi perkembangan anak dan hanya sekali keluar selama proses kehamilan.

Oleh istri yang mengaku sering bergaul dengan anak kedokteran saat kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, ini mengatakan kepada saya bahwa colostrum akan membuat ketahanan tubuh anak kuat sehingga tidak mudah sakit. Tak hanya itu, istri juga memberikan stimulus yang kuat kepada Fadia sejak di kandungan sampai sekarang. Fadia juga beruntung karena istri memberikan ASI full dua tahun sebagaimana yang di anjurkan oleh Al Qur’an. “Hendakah kaum ibu menyusi anak hingga dua tahun penuh” demikianlah penggalan ayat dalam salah satu surat di Alquran. Istri sendiri alumni MIPA Fisika Sains UNS Solo.

Ini semua bagian dari proses pembelajaran kami menjadi orangtua. Banyak hal yang menggembirakan, terharu yang terkadang kami dibuat tertawa oleh tingkah Fadia. Pernah suatu ketika Fadia mengatakan kalau bapaknya ganteng atau dia tertawa sambil mengatakan “Ya ampun, ya ampun kok Ummi bisa masuk tivi gimana caranya”. Ungkapan ini terjadi saat istri masuk di BRTV tentang warung kami. Logika sistematis pikirnya berjalan begitu cepat melebihi usianya, tak heran Fadia dikenal di lingkungan keluarga saya seperti orangtua. Terima kasih ya Allah, semoga kami bisa menjaga Fadia dengan baik, mengantarkan dia ke status terhormat dan menjadi ibu cerdas kelak dikemudian hari.


Kota Serang, Minggu 5 Desember 2010

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mudik [1]. “Ha, Tiketnya Habis”!


“Maaf Pak, tiket kelas bisnis sudah habis,” kata operator pemesanan tiket Kereta Api sistem online kelas bisnis Cirebon Ekspres 25 hari sebelum lebaran. Mendengar jawab operator saya kaget dan heran karena pemesanan masih lama tapi bisa habis.


OLEH ABU FADIA


Sejak PT Kereta Api Indonesia melalui operatornya menyatakan bahwa tiket kereta jurusan Gambir-Tegal habis, saya langsung berunding dengan istri untuk membuat kebijakan baru tentang mudik. Waktu itu ada beberapa alternatif yaitu membatalkan mudik, menggunakan jasa rental mobil, minta dijemput dari rumah dan terakhir pakai jasa bus.

Setelah membuat berbagai pertimbangan yang rasional terutama rasionalisasi budget anggaran akhirnya kita memilih menggunakan jasa angkutan umum bus. Pada Senin (23/8) sekira pukul 10.00 WIB kami berdua meluncur ke agen bus Sinar Jaya di dekat Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, tepatnya 200 meter dari gerbang kampus beralmamater merah hati ini.

Di Agen Sinar Jaya tampak beberapa orang yang bermaksud sama dengan kami yaitu membeli tiket untuk mudik. “Waduh, untuk tanggal 7,8,9 sudah penuh paling ada untuk tanggal 6, itupun harus ikut bus jurusan Serang-Wonosobo,” kata salah seorang petugas penjual tiket kepada kami berdua. Untuk kali keduanya saya kaget dan menarik nafas, sempat bingung apakah tetap kita paksakan mudik. Waktu mudik saya yang rasional adalah mulai tanggal 6 jika tanggal sebelumnya maka tidak memungkinkan karena kantor belum libur.

Kurang lebih 10 menit saya berpikir sejenak dan akhirnya memutuskan tetap mudik meski tanggal kepulanganya meleset dari waktu yang direncanakan. Bayangkan, bus yang akan kita tumpangi adalah jurusan Serang-Wonosobo sementara saya turun di Kota Brebes, Jawa Tengah. “Itukan setengah perjalanan lagi, masih jauh,” gumam saya dalam hati. Ini tentu akan menambah biaya perjalanan karena ongkos yang semestinya Rp 65.000 menjadi Rp 100.000 per orang. Lobi istri agar tetap dihitung sesuai tujuan kami ternyata gagal, biasa kalau cuaca lebaran jangan berharap bisa lobi soal harga tiket hampir dipastikan gagal.

Kami langsung boking tempat di kursi deretan kedua karena pada dertan pertama sudah dipesan. Meski semua perencanaan meleset tapi kami tetap senang karena akhirnya bisa mudik ke kampung halaman. Kami tidak memiliki alasan untuk menunda silatuarahim dengan orangtua ataupun mertua. Mudah-mudahaan perjalanan di bus mengasikan dan tidak terjebak macet.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hah…Fadia Mau ke Bulan?


Ha, Fadia mau ke bulan?, pakai apa?”. Itulah ekspresi kami yang kaget saat Fadia, anak pertama kami yang berumur dua tahun dua bulan mengungkapkan keinginannya pergi ke bulan.

OLEH UMMI & ABI FADIA

Dede Dia mau ke bulan pakai baju astronot, terus pakai pesawat ulang-alik,” kata Fadia menjawab pertanyaan kami berdua. Jujur, kami merasa kaget dan bangga karena di usianya yang baru dua tahun dua bulan, Fadui sudah mengenal bulan, astronot dan pesawat ulang-alik. Meski sederhana tapi bagi kami ini adalah prestasi yang luar biasa karena sudah memiliki perbendaharaan kata-kata sains. Mengetahui kesempatan emas ini kami berdua pun terus memancing imajinasinya, kami terus memberkan stimulus dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Fadia.

Kalau ke bulan, Abi dan Ummi diajak ga?” tanya suami kepada Fadia. Mendapat pertanyaan ini, Fadia bukan hanya menjawab Abi dan Ummi yang akan diajak tapi juga anggota keluarga lain seperti bule, om, mba.

Abi diajak, Ummi diajak, Bule diajak, Om Ari diajak, Mba juga diajak. Dede Dia duduk sama Ummi dan Abi,” kata Fadia sambil menggerakan kedua tangganya seperti seorang guru yang sedang menjelaskan kepada anak didiknya.

Kegiatan membaca adalah kegiatan yang paling dominan yang aku lakukan dengan Fadia. Sebagai ibu yang memiliki latar belakang sains dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, saya seringkali mendekatkan Fadia dengan wawasan sains baik melalui buku ataupun peristiwa alam yang ada di sekitar rumah.

Salah satu buku sains yang kali pertama mengenalkan Fadia dengan bulan adalah Word Book Picture. Didalam buku ini, diceritakan tentang kegiatan kakak beradik yang sedang mengamati fenomena bulan. Selain itu, di buku ini diterangkan juga tentang beberapa bentuk bulan yaitu, purnama, bulan separuh dan bulan sabit. Bulan sepertinya menjadi favorit Fadia. Bulan purnama misalnya, dia selalu minta menggoreng telor sendiri karena bentuknya bulat mirip bulan purnama. “Tuh Bi, kaya bulan purnama,” teriak Fadia saat melihat bentuk telor yang digoreng bulat.

Selain bulan purnama, Fadia juga menyukai bulan sabit. “Tuh Bi, bulan sabut di atas,” teriak Fadia ketika melihat bulan sabit di atas langit. Selain sudah bisa memiliki keinginan pergi ke bulan, astronot dan pesawat ulang-alik, Fadia juga sudah bisa menyampaikan cita-citanya.

Kalau ditanya apa cita-cita Fadia maka dia akan menjawab ingin menjadi dokter anak. “Fadia ingin jadi dokter anak,” katanya dengan gayanya yang lucua. Semua itu anugerah dari sangka pencipta, tugas kita sebagai orangtua adalah memberikan stimulus agar otak dan pemikirannya terpancing. Sebagaimana diungkapkan para ahli bahwa usia dua anak adalah usia keemasan yang akan menentukan kecerdasan anak di masa mendatang.****


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Gelap, Minyak Jelantah Pun Nyala


"Waduh, mati listrik lagi. Bagaimana sih PLN ini, giliran bayar tidak boleh terlambat tapi pelayanan byar pet, byar pet. Mana hari sudah malam, hujan lagi,” gerutu suami saya ketika listrik mendadak mati sekira pukul 18.30 WIB.

OLEH UMMI FADIA,S.Si

Usai shalat maghrib berjamaah di rumah, seperti biasa kami bercengkrama di ruang tamu. Fadia yang memasuki usia dua tahun bertingkah lucu, suka nyanyi sendiri dan selau melompat-lompat di atas kasus. “Ini anak tipenya kinestetik dan language, nanti sekolahnya di Peradaban saja yah,” kata suami kepada saya sambil melihat Fadia yang cengar-cengir.

Sekolah Peradaban adalah sekolah alam di Kota Serang, Provinsi Banten, yang dikelola teman-teman suami. “Umi, Umi,” teriak Fadia saat tiba-tiba listrik mati. Suasana mendadak ramai, saya mencari lilin sedangkan suami mengamankan Fadia.

Lilin kemana yah, waduh ternyata habis juga, tapi tidak perlu beli Bi, nanti Ummi carikan solusi sepertinya pakai minyak jelantah bisa nyala,” kata saya kepada suami. Setelah mondar-mandir mencari gelas hias yang biasanya digunakan untuk penerangan kolam mungil di taman rumah akhirnya suasana mulai tenang.

Empat gelas ukuran mini telah dikumpulkan ke dalam satu tempat. “Beli lilin saja sih Mi,” kata suami yang ingin praktis dan tidak perlu repot-repot. Selang beberapa menit kemudian, kedipan lampu dari minyak jelantah yang ditaruh di gelas mungil tampak. “Tuh kan nyala, Ummi gito loh. Akhwat jenius,” kata saya kepada suami sambil membanggakan diri.

Bulan Februari 2010 sering terjadi pemadaman bergilir di beberapa wilayah Kota Serang, Provinsi Banten, dimana saya berlabuh. Konon, ini akibat PLN kekurangan pasokan listrik yang sebetulnya alasan ini membuat saya bingung. “Laut kita luas, angin juga cukup, banyak energi alam yang bisa dimanfaatkan menjadi sumber tenaga listrik. Kenapa kok masih kekurangan pasokan tenaga listrik, aneh,” gumam saya kepada suami.

Namun saya harus sadar, menggerutu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Toh, mulai dari Direksi PLN sampai Presiden SBY tidak tahu kesulitan keluarga kami ketika mati lampu. “Sebagai rakyat biasa, saya harus tetap semangat untuk ikut serta dalam program penghematan energi,” gumam saya untuk menghibur diri.

memanfaatkan minyak goreng bekas atau sering disebut jelantah. Yah, ini ide yang muncul tiba-tiba ketika mati listrik malam hari. Yah, paling tidak saya tidak perlu membeli lilin setiap mati listrik. Selain itu, penggunaan minyak jelantah untuk penerangan juga untuk menghemat tenaga listrik dan ramah lingkungan.

Sebab, dengan lampu saving energy, sama halnya penambahan pemakaian listrik pada saat pengisian. Menggunakan lampu minyak tanah pun sudah langka dan cukup berbahaya. Menggunakan lilin, selain merupakan salah satu hasil tambang kalau matinya tiap hari bisa habis berdus-dus akibatnya arti penghematan itupun akan hambar.

Pakai genser?. Wauh, rumah tangga pakai barang ini mewah banget tuh. “Kalau penerangan pakai genset beberapa saat nyala langsung diprotes tetangga, lah iya brisiknya minta ampun kok. Selain itu, kalau pakai genset sama halnya mengganti listrik dengan bensin, dimana lagi arti penghematan sumber daya alam,” kata saya diskusi dengan suami.

Lalu apa yang kita lakukan agar hemat sumber daya alam tapi rumah tetap terang. Awalnya saya tidak terpikirkan menggunakan minyak jelantah tapi setelah melakukan pemikiran, saya mencoba memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan bakar lampu. Loh kok minyak jelantah bisa nyala?.

Ingat dengan mainan perahu yang digemari anak-anak. Coba, ingat-ingat bahan bakar apa yang digunakan perahu itu sehingga bisa menjadi energi untuk menggerakan perahu tersebut. Minyak jelantah bukan?. Ingin tahu cara membuatnya agar rumah kita tetap terang meski mati lampu tanpa harus membeli lilin. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan.

Siapkan satu lilitan kapas dengan panjang kurang lebih 3 cm. Lalu?, sebentar dulu sabar yah. Setelah itu siapkan satu yang kira-kira cukup bisa digunakan untuk membuat lubang pada satu buah tutup botol sirup atau minuman lainnya (yang pasti jangan tutup botol Aqua, pasti meleleh). Buat lubang di tutup botol tersebut melebar agar aliran panas tidak terperangkap.

Tumpahkan minyak jelantah ke dalam botol lalu masukan kapas yang sudah dililit ke lubang botol agar menjadi sumbu api. Terakhi, apungkan tutup botol yang sudah bersumbu di atas minyak yang telah di taruh di gelas. Nyalakan sumbunya dengan korek, nyala deh!. Sederhana bukan?. Sok coba praktekan biar bisa ngirit belanja rumah tangga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Si Kecil Membuat Analisa


Membaca bukan saja menambah wawasan si kecil tapi ternyata bisa mengendalikan tantrum anak. Demikian diungkapkan seorang penulis buku Ann E Laforge.

OLEH UMMI FADIA

Awalnya saya bingung ketika melihat Fadia (2), anak pertama kami yag tiba-tiba ngambek tanpa sebab. Ternyata itulah yang disebut tantrum. Cara yang efektif untuk meredakan badai rewel balita atau tantrum adalah membaca, terutama bacaan yang menceritakan karakter rasa seperti sedih, senang, terkejut, termasuk ekspresi frustasi sekalipun.

Untuk urusan membaca bagi saya tidak menjadi masalah karena sejak usia delapan bulan, Fadia sudah saya kenalkan dengan kegiatan membaca. Alhamdulilah buku tidak hanya mengembangkan kemampuan berpikirnya tapi juga kemampuan motoriknya seperti membuka lembaran buku yang tipis.

Seiring dengan bertambahnya usia Fadia, sifat “Keakuan” Fadia makin besar yang harus disikapi dengan benar dan tepat sehingga si kecil tidak mengalami kebingungan untuk memaknai sebuah kebenaran.

Salah satu contoh, sebagai keluarga muslim saya membiasakan menutup aurat karena ini adalah salah satu karakter dan kewajiban umat muslim yang bisa membedakan dengan umat lain.

Fadia terbiasa pakai jilbab sejak usia 3 bulan, tapi sejak masa negatifistiknya tumbuh, dia sering menolak memakai jilbab. Di sinilah orangtua “dipaksa” konsisten untuk menerapkan aturan tidak tertulisnya. Apabila kita kalah dengan berontaknya anak maka membingungkan anak itu sendiri.

Salah satu cara yang saya lakukan adalah mengajak membaca buku yang ada kaitannya dengan jilbab. Sampailah saya menemukan buku berjudul “ Aku Cantik Pakai Jilbab”. Dalam buku tersebut hampir disemua halaman menampilkan dialog sang tokoh yang bernama Saliha dan ibunya.

Namun, di beberapa halaman dari buku tersebut gambar ibu yang sedang berdialog dengan Saliha tidak dimunculkan oleh penulis. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan Fadia. Tak lama setelah melihat halaman itu munculah pertanyaan dari si kecil. “ Ummi, ibunya mana?” tanya Fadia.

Sampai sekarang saya sendiri tidak mengetahui apa alasan sang penulis tidak menampilkan gambar sang ibu. Tapi analisis si kecil yang ditunjukan dengan melontarkan pertanyaan itu cukup membuat kagum karena stimulus analisisnya sudah mula bergerak .

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS