RSS

Si Kecil Kemah di Rumah Sakit

Bintang yang semula menyemburkan cahaya dengan indah, mendadak malu dan bersembunyi di balik gumpalan awan yang juga terasa menghitam. Riang dan tawa seketika berubah menjadi tangisan yang meronta dan nelangsa karena tak tahan merasa sakit. Itulah suasana saat kami mendengar kepastian hasil tes darah bahwa si kecil terkena positif DBD.

Di akhir pekan pada Minggu terakhir di akhir tahun, tepatnya Sabtu, 25 Desember 2010 sekira pukul 18.30 WIB atau 30 menit setelah adzan magrhib. Saya dan istri setengah kaget dan setengah siap menerima anjuran yang bersifat desakan agar Hazimah Ayu Fadia, anak pertama kami di opname. “Trombositnya cuma 120 bu, jadi saran saya dirawat inap. Ini sudah positif DBD, tapi itu sih terserah ibu dan bapak sebagai orangtua,” kata dokter setelah menerima hasil laboratorium tes darah Fadia dengan mimik serius.

Kedipan bintang di langit menjadi redup, bulan pun enggan tersenyum seolah turut merasakan suasana batin kami. “Ooh, positif yang dok?. tanyaku untuk memastikan barangkali dokter salah baca atau ngantuk karena jaga di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Ibu dan Anak Budi Asih, Kota Serang, Provinsi Banten. Namany dokter kan bisa jadi salah baca, kan dokter juga manusia.Tak pusat dengan pertanyaan saya, istri saya kembali menanyakan alasan kenapa harus dirawat inap dan kenapa positif DBD. “Trombositnya berapa dok?” tanya istri kepada sang dokter.

Pertanyaan istri sebetulnya bukan meragukan kemampuan diagnose sang dokter terhadap hasil tes, tapi hanya untuk memastikan apakah betul kena DBD. “Iya Bu, ini trombositnya rendah cuma 120 padahal normalnya minimal 150,” jawab sang dokter sambil melempar senyum. Jawaban kali kedua dokter inilah yang meyakinkan kami berdua sehingga memutuskan untuk merawat Fadia.

Sekira pukul 20.00 WIB, tangan Fadia mulai dilengkapi dengan tusukan jarum suntik, selang dan botol yang berisi cairan. Tangisan dengan diiringi gerakan fisik memberontak untuk diopname, si kecil di bawa ke salah satu ruang perawatan. Inilah waktu kali pertama saya, istri dan si kecil kemah di rumah sakit. Tak tega melihat tangan si kecil ditusuk jarum dan mengeluarkan darah segar.

Rintihan dan tangisan histeris pun mulai terdengar. Bahka, saya terpaksa harus memegang kuat-kuat tangan si kecil ketika hendak diambil darahnya untuk kali keduanya. “Maaf ya nak, ini supaya Fadia cepat sembuh dan bisa sekolah jauh,” bujuk saya kepada si kecil dengan penuh iba.

Setelah semua peralatan infus terpasang, si kecil pun dibawa ke salah satu ruang yang telah kami pilih. Si kecil menempati ruang VIP dengan nama ruangannya Merak 6, yang berada di ujung gang lantai 2 rumah sakit ini. Mulailah malam yang bertepatan dengan Hari Natal 2010 itu kami bertiga kemping di rumah sakit. Oh, maaf sebetulnya sih berempat karena istri sedang mengandung lima bulan anak kedua kami.

Sambil kemping saya aktif menuliskan status di facebook minta doa kawan-kawan di facebook karena kekuatan doan begitu luar biasa. Penulisan facebook ini saya lakukan setelah meminta izin tidak masuk kerja via pesan singkat ke rekan kerja. Si kecil terkulai dengan infuse, mohon doa untuk kesembuhannya, itulah salah satu isi status saya ketika kemping di rumah sakit. Tanggapan dari kawan pun mulai bermunculan hingga mencapai 10 tanggapan, mayoritas berisi doa dan menanyakan sakit anak saya.

Terima kasih doanya. Positif kena DBD, jawab saya dalam status facebook. Oh ya ada juga yang menganjurkan untuk minum jus jambu merah. Apapun isi status ini saya berterimakasih karena dengan dibantu doa para jamaah facebook, si kecil berangsur-angsur mulai membaik. Namanya kemping, yah bawaanya air panas, selimut, jaket dan makanan ringat serta minuman.

Di dalam ruangan kemping hanya ada satu tempat tidur yang pastinya untuk si kecil sama umminya. Di samping tempat tidur terdapat lemari es satu pintu merk Sanyo, televisi 14 inch merk Samsung dan sofa hijau muda yang saya tidak tahu merk apa.

Kami berdua bersyukur karena ndilalah istri diberi petunjuk oleh Allah SWT untuk melihat artikel tentang DBD, yang lama tidak dibaca dan tersimpand I meja rias. Jika tidak ada petunjuk Allah SWT maka saya tidak tahu nasib Fadia menghadapi penyakit unik itu. “Terima kasih ya Allah atas kasih sayangMu,” gumam saya dalam batin. Dalam artikel itu dikatakan bahwa gejala DBD seperti pelana kuda, pada tiga hari pertama panas badan cukup luar biasa. Nah, pada hari ke empat panas menurun dan anak bisa becanda, makan dan beraktivitas seperti sudah sehat makanya banyak orangtua santai padahal kesembuhannya hanya kamuflase.

Kondisi seperti sudah sehat itulah sebetulnya masa kritis karena virus mulai menggeroti salah satu bagian dalam tubuh kita melalui darah. Salah satu caranya untuk memastikan apakah itu sembuh betulan atau bohongan maka di tes darah di rumah sakit, sehingga bisa diketahui apakah murni sembuh atau ada penyakitnya. Jadi saran saya bagi Anda yang memiliki anak dan mengaalami panas, mesti waspada pada hari ke-4 dan jangan sampai terlambat untuk melakukan tes darah. |Abi Ayu Fadia|

26 Desember 2010, RSIA Budi Asih, Kota Serang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tjoet Njak Dien, RA Kartini dan Ayu Fadia [1]

“Aku mau sekolah yang jauh. Di sana pakai mobil. Aku kan mau jadi dokter.”

[Ayu Fadia, saat usianya 2 tahun 8 bulan].

Oleh Abi Ayu Fadia

Tepat peringatan Hari Ibu, 22 Desember 2010 yang jatuh pada hari Rabu sekira pukul 20.00 WIB. Rumah mungil kami yang biasanya ramai oleh celotehan Fadia mendadak hening. Boneka si Lebah pun terkulai di keranjang karena sang pemilik sedang layu. Wajahnya pucat dan selalu terbangun dari tidurnya diringi tangisan menahan sesuatu yang tidak mengenakan.

Istri yang sedang hamil lima bulan langsung merangkul tubuh mungil Fadia untuk kemudian dipeluk. Saya sendiri sibuk mengatur suhu AC di kamar dan mengurus air hangat kuku dan selembar handuk kecil. Sementara, keponakan yang saat itu sedang menunggu warung saya perintahkan membeli thermometer digital di apotek. Sebetulnya, alat ini sudah tersedia tapi rusak setelah diremas-remas tangan kreatif Fadia ketika sehat.

Itulah kesibukan seisi rumah ketika Ayu Fadia terkena panas hingga nyaris mencapai 40 derajat celcius tepatnya 39,4 derajat celcius. Suhu badan Fadia kami pantau setiap satu jam lalu kami catat sebagai medical record sebagaimana yang dianjurkan oleh para tenaga kesehatan. Catatan ini penting untuk mengetahui sejauhmana perkembangan suhu badan sehingga bisa cepat diambil tindakan apabila kondisi mengharuskan di bawa ke dokter.

Kata orang kedokteran panas itu bukan penyakit tapi bentuk perlawanan tubuh terhadap benda asing yang masuk, seperti virus atau bakteri. Nah, karena bukan penyakait jadi tidak perlu panic ketika mendapatkan anak kita panas. Yang terpenting panasnya dikontrol supaya bisa diambil tindakan. Apabila panasnya diikuti kejang-kejang,muntah maka secepatnya dibawa ke rumah sakit.

Hal lain yang perlu segera dibawa ke rumah sakit adalah saat suhu badansi kecil naik turunya radikal. Misal dari 39 derajat celcius langsung turun 35 derajat, nah itu perlu diwaspadai dan lebih baik segera larikan ke rumah sakit. Sebetulnya ada hal lain yang membicarkan tentang panas si kecil salah satunya adalah memindahkan tempat tidur si kecil ke tempat yang lebih luas dan sirkulasi udaranya bagus.

Alhamdulillah, sekira pukul 23.00 WIB panas Fadia mulai turun hingga pukul 24.00 WIB panasnya turun menjadi 38,5 derajat celcius yang semula 39,5 derajat celius. Lah, ini judul ama isi kok ga nyambung. He..he.. tenang aja, baca saja sampai tuntas nanti juga nyambung kok. Kenapa saya sandingkan Ayu Fadia dengan nama dua tokoh wanita terkenal tentu ada udang di balik mirong, eh di balik batu maksudnya.

Soo pasti ada dong. Masa menyandingkan nama anak dengan seorang tokoh tidak ada maksud?, wong kita memberikan nama untuk anak-anak kita juga ada filosofinya iya kan?. Jadi begini, mumpung Hari Ibu saya menulis sosok wanita yang menjadi pahlawan sang pencerah di kalangan kaum wanita. Apalagi Fadia lahir sehari sebelum peringatan Hari Kartini yaitu 20 April 2008.

Lalu hubungannya apa dengan RA Kartini dan Tjoet Nya Dien. Memang secara garis keturunan darah tidak ada ketemu karena Kartini keturunan bangsawanan Jawa, Tjoet Nya dien keturunan Sultan di Aceh. Sedangkan Ayu Fadia adalah keturunan seorang wartawan yang menikahi sarjana Fisika UNS Solo, Jawa Tengah.

Tapi bukan urusan darah yang ingin saya petik pelajaran dari dua wanita tersebut, tapi nilai-nilai pencerahan yang telah mereka lakukan sehingga menggelorakan semangat kaun wanita. Mereka berdua bisa menjadi inspirasi sebagaimana kebebasan wanita Belanda untuk mengekspresikan bakatnya telah menginspirasi Kartini, sehingga tersadarkan bahwa peran wanita bukan hanya di dapur, sumur dan kasur.

Karena terinspirasi inilah Kartini berani menulis surat pada Mr.J.H Abendanon, salah satu temannya di Belanda. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri kincir angina tersebut. Sayang Kartini tidak sempat memanfaatkan beasiswa tersebut karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat.

Wah makin seru saja nih ceritanya. Sok pasti kan sudah saya jelaskan pada pertengahan tulisan ini bahwa nanti pasti ada kaitannya antara judul dengan isinya. Supaya lebih seriu kita rehat dulu sambil menyeruput teh poci khas Gardoe Welitan (GW). Tunggu tulisan selanjutnya pada bagian kedua masih di web yang sama yaitu www.familycare20.blogspot.com. Selamat Membaca!

Kota Serang, 22 Desember 2010

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mogok Sekolah, Rajin Shalat

“Kenapa Fadia ga berangkat sekolah lagi?” tanya saya kepada Fadia di pagi hari. “Bosan,” jawabnya dengan tegas tanpa ragu. Fadia adalah anak pertama kami yang ketika tulisan ini dibuat berumur 2,6 tahun..

Waow, anak usia 2,6 tahun sudah bisa dan berani menyatakan sikapnya sendiri tanpa ragu. “Loh kok bosan, katanya mau jadi dokter kandungan?” tanyaku dengan mengingatkan memori Fadia tentang cita-citanya ingin menjadi dokter kandungan yang pernah dia sampaikan saat baru berumur 1,5 tahun. “Ga mau,” katanya dengan nada tinggi seolah ingin menegaskan kepada saya bahwa ia tidak mau diganggu gugat soal urusan sekolahnya.

Maaf, bukan bermaksud ngalem anak sendiri, Fadia memang memiliki keunikan tersendiri. Dia sudah bisa mulai berjalan sejak usia satu tahun, bicaranya tidak cedal termasuk ketika mengungkapkan kata yang terdapat huruf “R”. Fadia juga kritis dan suka ngeles ketika menemukan sesuatu yang salah, seperti ketika ada salah satu anggota keluarga kami membuang sampah sembarangan, menempatkan handuk yang tidak rapi, nonton televisi dengan jarak terlalu dekat.

Fisiknya juga tergolong kuat karena sudah kami buktikan. Pertama, saat perjalanan dengan menggunakan sepeda motor ke Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Perjalanan dari Kota Serang ke Labuan dimana kami singgah kurang lebih dua jam. Terakhir, Fadia kami ajak ke Kota Tangerang dengan menggunakan motor dan dia menikmati betul selama perjalanan. Selama di perjalanan Fadia selalu bernyanyi dan memberitahu kami saat menemukan objek yang selama ini ia kenal, seperti sungai, genangan air ataupun kendaraan besar.

“Kalau mau ke rumah nenek tuh lewat situ Bi,” katanya saat melintasi jembatan yang di bawahnya terdapat jalan tol. Memang, saat kami mudik ke rumah nenek Fadia di Brebes,Jawa Tengah, pasti melewati tol Serang.

Kembali ke cerita Fadia yang bosan dengan sekolah. Saya dan istri langsung menangkap kenapa Fadia bosan sekolah. Analisis kami, pertama adalah Fadia ingin mencari suasana baru seiring dengan usianya yang bertambah. Kedua, perkiraan kami metode pengajaran guru yang mungkin dianggap membosankan Fadia.

Meski bosan masuk sekolah tapi Fadia tidak bosan dengan aktivitas membaca. Fadia masih suka membawa buku cerita apakah itu tentang lebah, pesawat astronot, ka’bah termasuk menulis dan bernyanyi huruf. Teori-teoir yang kami pelajari tentang pendidikan anak dua hal di atas aganya mendekati kebenaran.

Beberapa hari terakhir ini, kami dibuat sumringah pula karena selain masih suka membaca, menulis dan bernyanyi. Fadia menjadi rajin shalat, tak jarang Fadia yang mengajak kami shalat berjamaan di rumah. “Ayo Bi Shalat,” ajak Fadia saat saya baru pulang kerja. Sebetulnya, kegiatan shalat sudah dilakukan Fadia saat usianya dua tahun tapi tidak seatraktif sekarang (2,6 tahun).

Jika dulu Fadia hanya berdiri tapi sekarang Fadia minta wudlu dan mengikuti gerakan shalat lengkap mulai takbiratul ikhram hingga salam. Usai salam, Fadia langsung melempar senyum dan mencium tangan saya dan istri sambil menyodorkan pipinya untuk dicium. Jujur ingin saya katakana melalui tulisan ini. Perkembangan Fadia yang begitu atraktif dan berkarakter tidak lepas dari peranan istri.

Sejak di kandungan Fadia selalu diajak bicara, saat kali pertama lahir yaitu Ahad, 20 April 2008 pukul 03.00 WIB, Fadia langsung diberi colostrum, yaitu cairan yang keluar pertama kali dari puting berwarna kekuning-kuningan. Colostrum menurut ahli kesehatan anak adalah cairan yang memiliki manfaat besar bagi perkembangan anak dan hanya sekali keluar selama proses kehamilan.

Oleh istri yang mengaku sering bergaul dengan anak kedokteran saat kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, ini mengatakan kepada saya bahwa colostrum akan membuat ketahanan tubuh anak kuat sehingga tidak mudah sakit. Tak hanya itu, istri juga memberikan stimulus yang kuat kepada Fadia sejak di kandungan sampai sekarang. Fadia juga beruntung karena istri memberikan ASI full dua tahun sebagaimana yang di anjurkan oleh Al Qur’an. “Hendakah kaum ibu menyusi anak hingga dua tahun penuh” demikianlah penggalan ayat dalam salah satu surat di Alquran. Istri sendiri alumni MIPA Fisika Sains UNS Solo.

Ini semua bagian dari proses pembelajaran kami menjadi orangtua. Banyak hal yang menggembirakan, terharu yang terkadang kami dibuat tertawa oleh tingkah Fadia. Pernah suatu ketika Fadia mengatakan kalau bapaknya ganteng atau dia tertawa sambil mengatakan “Ya ampun, ya ampun kok Ummi bisa masuk tivi gimana caranya”. Ungkapan ini terjadi saat istri masuk di BRTV tentang warung kami. Logika sistematis pikirnya berjalan begitu cepat melebihi usianya, tak heran Fadia dikenal di lingkungan keluarga saya seperti orangtua. Terima kasih ya Allah, semoga kami bisa menjaga Fadia dengan baik, mengantarkan dia ke status terhormat dan menjadi ibu cerdas kelak dikemudian hari.


Kota Serang, Minggu 5 Desember 2010

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS